Nov 10, 2006

SOLIDARITAS ACEH DI GAMPONG GLOBAL

OLEH: RIDWAN H MUKHTAR

Dua kali limong sikureueng, Dalam ruweueng na sa.
Bloe siplôh publoe sikureueng,Dalam ruweueng na laba.
( Dua kali lima sembilan, Dalam ruang ada Satu, Beli sepuluh jual sembilan, Dalam ruang ada laba )

Taprang kaphè bela agama,Usèe peunjajah Beulanda ngon Jipang.
Aneuk tapangkèe keumun tabina, Ureueng ranto tapeutimang
( Perangi kafir membela agama, Mengusir penjajah Belanda dan Jepang Anak dipangku kemenakan dibimbing, Orang perantau dilayani )

[ I ]
Ini hanya catatan singkat pengantar dari diskusi. Karena catatan, maka banyak hal yang tak memuaskan, dan umum adanya. Maja diatas mengindikasi perilaku hidup: Keuntungan dan kebaikan, menegakkan kebaikan ( amar ma’ruf ) dengan memberi kompensasi ( amal ) pada hamba sahaya, seumando, ureung rantoe, ureung leung jaroe, keu wareeh lingka.

Solidaritas Aceh yang berazas pada tata nilai. Solidaritas kata yang terpecah dari ukhuwah, tauhid, rabithah. Solidaritas menghendaki pada kepedulian, persatuan. Secara bahasa pengertiannya tentu sangat terbatas. Museuraya ( bergotong royong ) atas satu pekerjaan merupakan budaya baik. Meuseuraya, pada waktu tertentu melambangkan kesatuan, padu pada suatu media/objek yang dituju, dipindahkan, dicapai: Meuseuraya bak peugoet rumoh ( Rumoh Aceh/di Aceh ). Meuseuraya, bukan bertujuan memberatkan, sebaliknya untuk meringankan suatu pekerjaan, beban, penderitaan orang lain ( individu, kelompok, komunal/gampong,idiologi, maupun teologi,rumpun-tertentu ). Nah, yang seperti ini dikatakan: Solidaritas untuk kebaikan, kemaslahatan.

Seperti halnya dengan apa yang sudah dilakukan para pejuang jihad disabilillah dalam mengusir kafe belanda dahulu kala di Aceh. Karena rentang perang tiga abad lebih, maka solidaritas untuk melakukan perlawanan jelas atas dasar tiologi dan idiologi. Seperti halnya Perlawanan rakyat palestina terhadap israel. Dampak dari penegakan amar ma’ruf menghasilkan solidaritas dibelahan dunia lain. Tingkatan solidaritas dalam ujud kadarnya tergantung pada rasa, merasakan penderitaan, dan sikpa konsistensi para pejuangnya. Semakin lama perlawanan, perjuangan atas dasar kebenaran, maka solidaritas itu akan memperpanjang ’nafas’ para pejuangnya. Solidaritas semacam ini, apalagi didukung oleh kebijakan negara maka ’nafas’ para pejuangnya akan ’berenergi’ dan ’bergizi’ secara padu dengan generasi selanjutnya. Selebihnya dikenang pada hari tertentu, dicatat dalam lembar sejarah.

[ 2 ]
Dan dengan seperti itu, maka agak teranglah pemahaman anda: Solidaritas itu bisa saja dihubungkan kemana saja: Atas nama perjuangan akan keyakinan, aliran, mazhab, adat/tradisi. Selebihnya kita mengenal trend solidaritas kemanusian: Lintas idiologi dan tiologi. Solidaritas kemanusiaan cenderung mengemuka pada waktu dan wilayah krisis. Individu atau kelompok yang ’terhukum’ dalam perspektif kemanusiaan mempunyai hak untuk diperlakukan secara manusiawi. Walaupun palu putusan sudah memutuskan salah karena melanggar tata tertib dan norma yang hidup dalam masyarakat dan berbangsa. Begitulah kira-kira. Artinya, solidaritas kemanusiaan, penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan berada pada tempat yang ’suci’ dan terpelihara. Kafir zimmi, bahkan anjing sekalipun tetap harus dilindungi hak-haknya. Maka solidaritas terhadap minoritas atas mayoritas menjadi ukuran peradaban suatu kaum. Tak terkecuali di Aceh, penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan menjadi diskursus. Kejahatan kemanusiaan menyebabkan solidaritas lintas negara. Bahkan menjadi solidaritas rakyat dengan rakyat ( people to people ) . Asumsi kenapa terjadi solidaritas, sangat berhubungan dengan kerentananan manusia yang kalah dengan benturan kekerasan akibat mobilisasi kekuatan rekayasa manusianya. Begitu juga dalam becana alam, manusia cenderung abai terhadap resiko, dan pasrah menerima akibat berlanjut: Ketidapastian hidup, dan ketidakpastian mendapatkan kebahagiaan, kenyamanan.

[ 3 ]

Pengantar selanjutnya, dengan satu soal: Bagaimanakah kita melihat filosofi solidaritas dalam perspektif kearifan budayanya?.

Dalam maja, sikap yang menunjukkan rasa peduli, sapeu padan, sapeu kheun, terbentuk dalam tradisi sosial dalam komunitas gampong. Karena menjadi maja, maka pelanggaran, sikap abai terhadapnya dianggap sikap meu-kota, cuek, dan tidak bermasyarakat. Secara sosial dan diatur dalam perangkat adat, sanksi pengabaian justru akan diberikan kepada sang pelanggar, misal: Tidak bersedia menghadiri undangan khenduri yang diadakan dirumah si pelanggar, dll.

Berikut diantara maja tersebut: Bakna neutèm peuleubèh bacut watèe keu gob, laèn Bak neutèm peuleubèh bacut pikiran keu gob laèn. Bak neutèm peuleubèh bacut teunaga keu gob laèn, Bak neutèm peuleubèh bacut hareuta keu gob laèn.

[ 3 ]

Kembali ke tema: SOLIDARITAS ACEH DI GAMPONG GLOBAL. Bagaimana kita membahasnya?.

Kita mulai dari soal: apa yang sudah kita sumbangkan sebagai bentuk ukhuwah, solidaritas kepada dunia ?. Kepada kemanusiaan?. Terlepas dari filosofi yang sudah ada sejak dahulu kala. Apakah bentuk-bentuk, model, indikator solidaritas itu?. Apa yang melatarbelakanginya?. Anasir konflik bersenjata, bencana gempa&tsunami, dan intervensi ( luar ) pasca anasir tersebut ( emergency response ).

Beberapa solusi mari kita tawarkan bersama. Misal, apakah dalam proses pembangunan pasca konflik dan bencana, solidaritas, meuseuraya menjadi kebutuhan?. Atau memang benar, meuseuraya itu sudah terkubur oleh intervensi bala bantuan itu sendiri?. Atau karena kita sudah sangat lama didera konflik, lalu kemanusiaan kita abai terhadap gejala rentan disekeliling kita.

Tanyakan juga; apakah gampong-gampong tempat kelahiran kita, masih menikmati ( butuh ) solidaritas, meuseuraya untuk membangun kubah mesjid?. Atau katakanlah meuseuraya membersihkan tanah kuburan?. Atau jangan-jangan kita meuseuraya: Mengupah orang bersama-sama mengumpulkan rupiah, hanya untuk membersihkan tanah kuburan itu?. Entahlah. Seperti membuat timphan, darimanakah kita memulai ini semua?.


Banda Aceh, 10 November 2006
Ridwan H Mukhtar ( rumahkandang@yahoo.com )

No comments: