Jun 7, 2006

Rimueng Pluek

Budaya

Esai

Rimueng Pluek
Oleh: Ridwan H Mukhtar
( Penulis adalah pemerhati Budaya )

Rimueng Pluek ( Harimau yang menguliti ) adalah ikon rimbawi. Seperti halnya Ulat Seuba ( Ulat yang mematikan-tanaman ) atau Ase Geureuda ( Anjing serakah-buduk ). Pengejawantahannya memperjelas akan makna yang bertabur dikehidupan Duniawi. Tidak hanya imaginer yang memberi gambar akan interaksi yang kuat atas yang lemah. Sesuatu yang berlebihan mungkin, serakah, otoritarian, tentu saja linearnya penggambaran perilaku kanibalistik yang hidup atas yang hidup.
Ini luar biasa !.
_____________________

Konon Rimueng dalam laga rimba diabsahkan sebagai raja. Raja rimba yang menjalankan hukum rimba. Bukankah harimau itu akan membunuh si anak jantan yang dilahirkan dari induknya?. Tak peduli indah atau tidaknya belang-belang si anak harimau, asalkan bukan betina maka tak ada rimba untuknya. Maka hukum rimba kemudian memaklumatkan dalam lembaran maya rimba “ Yang berhak menjadi Raja Rimba adalah Bapaknya harimau, bukan sijantan anak harimau yang belang-belangnya indah, Titik”.

Kalaupun ada amandemen akan qanun rimba, tak elok rasnya untuk merubah subtansi. Biarkan saja si induk harimau jantan yang menjadi tumbal, selebihnya perempuan harimau hanya menjalankan fungsi reproduksi dan pemenuhan birahi sang raja; “ Asalkan perempuan harimau tidak melahirkan si Jantan yang indah belang-belangnya, karena itu adalah pengkhianatan atas hukum kaum rimba, Titik”. Begitulah maklumat raja rimba yang dikabarkan sang kera yang terusir.
Dalam rimba; saya tidak berhasrat membayangkan adanya tatanan seperti dalam kisah para dewa-dewi.

Dunia rimba tentu beda dengan kisah para dewa-dewi yang konon bersemayam dinegeri kahyangan ( semacam negeri di awan ), Ada tahta, mahligai yang diatur dan dijaga. Para dewa-dewi juga sangat terbatas birahinya ( Perselingkuhan sesuatu yang aib bagi kaum suci ). Dunia para dewa tidak aktual dan kontekstual mungkin. Akan tetapi tidak tertutup kemungkin ada semacam perebutan lingkaran permata pada tahta ( baca saja; kupiah meukutop ) diantara para dewa-dewi.

***
Membayangkan rimba tidak serta merta dan tak elok juga mengamsalkan seperti halnya kisah Film Coboy di layar kaca. Dalam kacamata budaya misalnya saya sering berteriak-teriak; “bahwa kebudayaan itu muasalnya dari rimba”. Konon turunan kera-kera seperti diceritakan dalam kisah zaman bahela; terusir dari rimba. Entah tiba-tiba, kera-kera mengabarkan ke penduduk kota bahwa harimau telah mengusir dan menjadi musuhnya.

Pada masanya kera si pembawa kabar memang pernah berseteru dengan sang raja ( Harimau ). Harimau adalah raja rimba yang dikenal stile. Penggambarannya; gagah, misai yang panjang dikiri kanan atas taring-taringnya yang tajam. Kuku-kuku kaki-- sewaktu-waktu dijadikan tangan -- putih bersih, panjang runcing serta tajam ( Kaum rimba percaya sang raja perlu perawatan khusus untuk menjaga Stile ). Akibat performe yang tercitrakan seperti itu, maka rakyat rimba mahfum adanya bahwa sang raja perlu ajudan -- Dayang-dayang -- yang bertugas merawat tubuh sang raja.

Konon kabar Si Kera sebelum di usir --- di PHK-kan -- pernah dipekerjakan pada sang raja rimba. Semua kerja mulai dari memandikan, menyisir bulu yang belang-belang, memotong kuku dan menjaga tetap putih, bersih, panjang runcing serta tajam berhasil dilaksanakan dan diakhiri pujian sang Raja. Yang menjadi malapetaka bagi Si Kera bermula dari sikap murka sang raja. Kera tidak kooperatif begitu kira-kira. Yaitu tidak mengikuti satu kemauan sang raja ( Dan perlu diingat ini tidak ada dalam kontrak kerja ).

Apa itu?, Si Kera dibebankan menghitung jumlah belang dan bulu-bulu ditubuh sang raja sesuai dengan kehendak sang raja ( Sementara jumlah bulu dan belang ditubuh sang raja adalah rahasia dan ada dalam pikiran sang raja saja ).

Tentu Si Kera pada pertama kali tidak salah hitungannya. Yang salahnya, ketika hasil hitungannya tidak sesuai dengan yang diyakini sang raja ( ingat juga; total jumlah bulu dan belang tetap rahasia, hanya ada dalam pikiran sang raja ). Begitulah, hitungan demi hitungan diselesaikannya, tapi selalu disalahkan sang raja. Sang Kera, akhirnya mengambil kesimpulan dan sikap; ini bukan tugas dia, ini diluar kemampuannya, atau ini alasan sang raja yang kemudian hari membuatnya di PHK-Kan.

Si Kera sampai terusir masih juga belum menemukan subtansi kesalahan dirinya. Anehnya, kegelisahan dan penderitaan Si Kera akhirnya menimbulkan solidaritas kaum kera ( semacam sikap oposisi binner ). Maka sepanjang tata pemerintahan dibawah raja rimba, kaum kera menjadi kaum katalis yang mendeklarasikan sikap oposan terhadap segala kebijakan sang Raja Rimba. Kaum kera kemudian dikenal luas dengan aksi liarnya ( tapi terorganisir ) mulai dari mencuri buah-buahan rimba komunitas siput, elang, jerapah, gajah, trenggiling hingga aksi-aksi gila lainnya seperti melakukan persetubuhan dengan lawan jenis kaum kera ( bukan kumpul kebo ).

Persetubuhan dan perselingkuhan Kera dirasakan akibatnya kemudian merusak generasi dan keturunan kaum rimba ( semacam perselingkuhan alien dan makhluk bumi-manusia ). Yang lebih dasyat akibatnya, puluhan tahun kemudian hilangnya garis keturunan ( Nasab ) kaum rimba dan kaum kera sendiri; hingga warisan tanah rimba menjadi sumber pertengkaran sesama cucu-cicit dari keturunan kaum rimba.

Akibat perselingkuhan dan persetubuhan ala rimba yang dimotori kaum kera maka bertambah murkalah sang Raja Rimba ( berpuluh tahun lamanya si Raja Rimba masih tetap harimau stile itu ). Klimaksnya murka durjalah sang Raja Rimba yang kemudian memerintahkan pada semua penghuni rimba untuk mengusir kaum kera dari rimba. Bahkan kalau perlu hilangkan jejak kera dari peta bumi.

Begitu dasyat dan akutnya perseteruan itu. Puluhan tahun kemudian perseteruan itu menjadi laten. Bukan saja antara si Raja Rimba yang ringkih dengan si komunitas kera yang uzur , tapi antara si Macan Tutul, Macan Kumbang, Kucing Hitam dengan Lutung, Beruk, hingga Kingkong si Raja Kera. Padahal punca segala soal bukan karena kera tidak kooperatif kepada sang Harimau si Raja rimba. Tapi sudah menjadi rahasia umum kaum rimba kemudian, bahwa Si Raja Rimba bukan harimau biasa. Sesungguhnya Si Raja Rimba adalah Rimueng Pluek. Ma ma’na Rimueng Pluek?, Rimueng Pluek adalah penggambaran tabiat. Secara empiris dan klinis mungkin saja bisa dibuktikan. Tapi bukan juga kecenderungan kanibalistik, konon lagi kelainan jiwa harimau.

Rimueng Pluek dalam Khasanah budaya rimba lebih dilihat pada tingkah laku, atau lebih jauh watak ( Tabi’at ). Kenapa ?, Rimueng Pluek bukan saja Rimueng Pajoeh Aneuk ( Harimau memangsa anak ). Tapi yang tragis dan ironi-- ini tidak sama dengan budaya kanibal versi Sumanto—Rimueng Pluek dalam memangsa kelinci, kambing, kerbau dan kemungkinan manusia, maka disetiap Tempat Kejadian Perkara Rimba ( TKPR ) akan ditemukan bukti ; Rimueng Pluek selalu mencabik tubuh magsanya, mengambil empedunya, dan mengguluti kulit kepala hingga menutupi kedua mata mangsanya. Apa pasal ?. Bisa jadi, Kebudayaan ( tabiat ) harimau itu dipengaruhi oleh sesuatu yang tak dipahaminya, mengapa pandangan mata begitu menakutkan. Menatap mata mangsa bisa saja meruntuhkan bahkan memadamkan ambisi dan birahinya ( mungkin )
***
Dalam Kebudayaan mistis, kepercayaan akan kekuatan pandangan mata berakibat pada hipnotis yang berimplikasi pada pemanfaatan si korban. Dalam ilmu Dramatika itu adalah pusaran binner akan indahnya penaklukan ( semacam pelakonan budaya instalasi ) diam. Dalam dunia Telematika, pandangan mata adalah penggambaran jiwa dan keutuhannya.

Dalam dunia Budaya Politik tentu pandangan mata bukan untuk meyakinkan atau mensyaratkan akan Hitam-Putih. Budaya Politik adalah keulabee ( abu-abu ). Maka merumuskan makhluk mana yang berbudaya juga akan menuai definisi keulabee ( abu-abu ). Makhluk berbudaya tidak hanya makhluk yang berbudi, tapi makhluk yang tidak berbudaya belum tentu juga tidak berbudi. Buktinya, Rimueng Pluek tidak pernah menentang si Harimau Perempuan melahirkan anak. Harimau sadar betul akan perlunya tabung reproduksi. Tapi ingat, Harimau ( kemudian juga dikenal Kucing ) yang dibunuh adalah anak jantan ( zaman jahiliyah justeru yang dimusnahkan adalah anak perempuan ). Lalu mana yang menjadi substansi dari Kebudayaan ?, perempuan ataukah laki-laki?. Entahlah

Banda Aceh 5 Juni 2006

Penulis

Ridwan H Mukhtar