Aug 27, 2012

Zakat, Pajak & Ongkos Birokrasi

Oleh: Fahrus Zaman Fadhly
Dosen FKIP UNIKU (Universitas Kuningan) &
Wakil Ketua Masika ICMI Orwil Jawa Barat


Pada April 2012 lalu, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), memprediksi dalam 2-3 tahun ke depan, sebanyak 124 daerah akan mengalami kebangkrutan karena besarnya anggaran belanja pegawai. Pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) 2011, terdapat 124 daerah yang belanja pegawainya di atas 60 persen dan belanja modalnya 1-15 persen.

Sejumlah pihak khawatir, apa yang akan terjadi atas negeri ini, bila postur anggaran yang tidak berkeadilan seperti ini terus berlangsung. Mengapa eksekutif begitu sewenang-wenang menetapkan anggaran belanja pegawai demikian besar melampaui anggaran belanja publik? Lalu mengapa wakil rakyat di legislatif begitu bertekuk lutut tak kuasa mengartikulasi kepentingan publik dalam soal alokasi anggaran ini? Politik transaksional dan perselingkungan kekuasaan macam apa sehingga kebijakan ini berpuluh-puluh tahun berlangsung?

Terkait zakat, pajak dan melambungnya belanja pegawai ini, ada baiknya pada momentum pembayaran zakat 'Idul Fithri 1433 Hijriyah kali ini, kita merenungkangkan kembali hakikat keadilan distributif di balik perintah mengeluarkan zakat. Kita perlu menginterpretasi ulang tentang hak dan kedudukan amil zakat dan meng-qiyas-kannya dalam pengelolaan dana APBN/APBD dari hasil pajak dan sumberdaya alam yang dikelola oleh birokrasi negara.

Berapa sesungguhnya alokasi terbesar yang mesti diberikan kepada birokrasi untuk belanja pegawai? Mengapa ilmu administrasi publik/negara tidak mengadopsi bagaimana Islam mengajarkan hak maksimal dari amil zakat yang hanya seperdelapan atau 12,5% dari total dana zakat (termasuk juga infak dan shadaqah) yang dikumpulkannya?

Birokrasi = Amil
Di Indonesia, potensi pajak dan zakat yang amat luar biasa ternyata tidak mampu menjadi instrumen bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Anggaran negara dari hasil pajak dikorup, sementara dana zakat belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal, di negara-negara Muslim seperti Saudi Arabia, zakat identik dengan pajak dan dikelola satu atap dengan pajak di bawah kementerian keuangan (Maslahtuz Zakat wad Dakhil). Zakat yang dihimpun oleh Maslahatuz Zakat mencapai lebih dari 1000 Triliun Rupiah per tahun dan disalurkan kepada mereka yang berhak menerimanya. Di negeri itu, dana yang dihimpun dari zakat benar-benar efektif mengatasi kemiskinan dan menaikkan taraf hidup rakyat.

Berbeda halnya dengan pengelolaan zakat dan pajak di Indonesia. Kepercayaan publik terhadap amil zakat dan aparat pajak masih rendah. Walaupun tidak separah kredibilitas birokrasi, kepercayaan publik kepada pengelola zakat mulai menurun. Hal ini disebabkan oleh setidaknya tiga faktor. Pertama, pengelolaan dan pendistribusian dana zakat yang tidak transparan dan. Kedua, dalam beberapa kasus dana ZIS digelapkan oleh oknum amil zakat. Ketiga, terjadi indikasi pendistribusian zakat untuk kelompok tertentu atau bahkan untuk kampanye terselubung parpol tertentu. Karena itu, tidak sedikit muzakki (pembayar zakat) berinisiatif memberikan langsung zakatnya kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik) daripada kepada amil atau lembaga zakat. Kegalauan ini mesti segera diatasi agar kepercayaan publik pada lembaga zakat tetap terpelihara.

Tulisan ini secara khusus akan menyoroti bahwa sesungguhnya birokrasi itu adalah seperti amil dalam pengelolaan zakat. Dalam QS. At-Taubah ayat 58-60, Allah SWT berfirman bahwa, "Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah bagi fakir miskin, para amil, para muallaf yang dibujuk hatinya, mereka yang diperhamba, orang-orang yang berutang, yang berjuang di jalan Allah, dan orang kehabisan bekal di perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana".

Amil zakat termasuk salah satu golongan (asnaf) yang berhak menerima zakat sebagai orang-orang yang bertugas mengelola atau menarik zakat dari orang-orang yang berhak mengeluarkan zakat (muzakki) kemudian membagikannya kepada mereka yang berhak mendapatkannya (mustahiq). Dari sisi anggaran, amil zakat hanya maksimal mendapat seperdelapan atau 12,5% dari total dana zakat yang diterima. Demikian juga dengan birokrasi, semestinya mereka hanya menerima bagian anggaran sebagaimana amil zakat menerima bagiannya. Jika lebih dari 12,5%, apa yang diterima oleh amil atau birokrasi menjadi haram hukumnya.

Para ulama berselisih pendapat mengenai prosentase hak amil zakat. Sebagian berpendapat amil zakat mendapatkan seperdelapan dari zakat. Sebagian yang lain berpendapat bahwa amil mendapatkan sesuai dengan kadar apa yang dikerjakannya. Itu artinya, maksimal bagian amil itu seperdelapan atau kurang dari itu. Bila kita bersetuju dengan pandangan ini, maka ongkos birokrasi mestinya hanya seperdelapan dari total anggaran yang ada.

Anggaran Pro-Publik
Sudah mafhum politik anggaran kita tak pernah berpihak pada publik. Yang dinikmati publik hanya serpihan-serpihan saja. Wajar saja, bila sejumlah kabupaten/kota di Indonesia terancam dilikuidasi. Pasalnya, belanja pegawai yang mencapai 70% sehingga mengalami defisit anggaran. Sementara, belanja publik hanya mencapai 30%. Itu pun menguap karena anggaran (APBD dan APBN) jadi bancakan proyek yang dikendalikan oleh elit politik, penguasa dan birokrat hitam. Sebagian selesai satu kamar lewat politik transaksional antara eksekutif dan legislatif. Praktik manipulatif elit seperti ini terjadi di pusat maupun di daerah.

Sejumlah penyebab membengkaknya belanja pegawai sesungguhnya jelas sudah bisa diindikasi yakni: remunerasi, struktur birokrasi yang gemuk-miskin fungsi, penyelewengan tupoksi, honor kegiatan, konsinyering, perjalanan dinas, rapat, kendaraan dinas, tunjangan BBM dan gaji sopir pribadi, praktik korupsi dan manipulasi anggaran di birokrasi, pemberian gaji ke 13 untuk PNS, dan lain-lain.

Inilah yang terjadi dalam praktik birokrasi di negeri ini, pemborosan (inefisiensi) dan korupsi. Remunerasi yang semula bisa jadi terapi atas gurita korupsi di berbagai lapisan birokrasi, ternyata tak bisa jadi obat mujarab. Reformasi birokrasi gagal total. Karena itu, harus ada langkah fundamental agar birokrasi di Indonesia berpostur ramping tapi kaya fungsi, lincah, efisien, cepat dan ramah dalam melayani publik (ready and friendly to serve public).

Belum lagi tumpang tindih fungsi dinas, badan, atau lembaga pusat maupun daerah yang mengurusi sektor yang sama dengan sumber anggaran yang berbeda. Salah satu contohnya adalah lembaga yang menangani masalah KB dan kependudukan. Di Jawa Barat misalnya, ada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Perwakilan Propinsi Jawa Barat, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Jawa Barat, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jabar, dan Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Provinsi Jawa Barat. Bahkan, dalam urusan pendataan penduduk, lembaga-lembaga tersebut kerap overlap fungsi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat. Khusus P2TP2A dan TP PKK memang bukan lembaga struktural, namun sumber anggaran utamanya berasal dari APBD Pemprov Jabar.

Jalan keluar
Masih ada asa bagi Republik ini untuk berubah. Jalan keluarnya antara lain: minimalisasi belanja pegawai menjadi maksimal 12,5% seperti halnya amil zakat, pembatalan remunerasi, hentikan pemekaran daerah, merampingkan struktur kelembagaan birokrasi, memangkas jumlah aparatur pemerintah, moratorium rekruitmen PNS, pembubaran lembaga, instansi atau badan yang tumpang tindih fungsi, serta wujudkan aparatur yang bersih. (*)


Sumber:
http://jabartoday.com/opini/2012/08/24/0603/4614/zakat-pajak-ongkos-birokrasi

________________________
Ikhtiar kita untuk mewujudkan perubahan akan berjalan sempurna bila kita mampu mengupayakannya melalui USAHA yang sunguh-sungguh dengan KERJA KERAS, BELAJAR dengan giat sehingga bisa KERJA CERDAS dan BERIBADAT dengan tekun sehingga mampu KERJA IKHLAS.

No comments: