Sep 13, 2006

Sulèt

(catatan pertama dari tiga catatan: Untuk calon Gubernur dan Bupati di Aceh)
Oleh: Ridwan H Mukhtar

menyoe pijèt ji èk bak sapai, nakeuh hai gatai tatumë rasa. Menyoe Sulèt taboh keu pangkai nakeuh hai rugoe tatumë rasa’ ( maja )
( kalau kepinding/kutu busuk menetap di lengan, maka tentu gatal akan kita rasa. kalau kebohongan yang menjadi pangkal maka kerugian yang kita rasa )

Sepenggal hadih maja yang diterjemahkan bebas diatas, sering menjadi kata-kata untuk mengingatkan dalam kehidupan dan menjadi filosofi hidup orang Aceh.Dari jaman dahulu kala hingga bulan September 2006 ini. Lebih kepada hubungan sebab akibat. Lalu apa itu Sulèt?. Artikan saja secara aktif: sebagai pembohong, penipu.
Lalu kemudian apakah Sulèt, punya makna tersendiri atawa cerita tersendiri dalam khasanah budaya di Aceh?. Tentu jawabnya: ada. Bukan hanya di Aceh, fakta dan data manusia di dunia ini; ditipu, kena tipu, menipu sudahlah tertulis dengan rapi. Di ulang laku, menjadi alat untuk memupuk nafsu.
Sulèt adalah laku. Sulèt adalah watak. Kemudian menjadi tabiat. Dalam masyarakat Aceh, penyebutan kata Sulèt untuk orang tertentu, kelompok tertentu, kaum tertentu dominan untuk mendudukkan derajat. Orang-orang yang Sulèt dalam paham teologi diposisikan pada strata rendah. Dalam strata sosial, orang Sulèt sering tentu amat mudah atau jarang dijumpai. Tergantung dinamika sosial dan politik yang menjadi tradisi.
Orang-orang Sulèt akan menjadi lebih sulit posisinya dalam masyarakat Aceh ketika si Sulèt itu adalah calon pemimpin, atawa pemimpin. Dalam konteks sekarang, misalnya: Sulèt atau tidak Sulèt –nya sang calon akan sangat mempengaruhi bertahan atau tidaknya kepemimpinan yang melekat pada dirinya.
Sulèt bukan budaya yang bisa mempengaruhi konstituen. Karena dalam sejarah dan budaya Aceh, perilaku Sulèt sudah membuat jera yang merajam. Sepanjang masa tentu zaman Sulèt terus dikenang. Portugis, Belanda, Jepang, dimasa penjajahan telah berperilaku Sulèt tentang maksud dan tujuan kedatangannya. Karena Sulèt maka watak itu tak bisa dilupakan, bahkan memberi maaf pun enggan. Di Aceh, Orang-orang pasca perang dunia-II terus mengulang-ulang perilaku Sulèt belanda; berniaga untuk menjajah, menguasai tanah.
Orang-orang yang datang lalu Sulèt cepat atau lambat dia menjadi terusir, diusir dan tak termaafkan. Inilah hawa tradisi yang menjadi budaya penolakan bagi orang-orang Aceh yang kosmopolit tapi dilematis karena selalu ditekan saat dia membuka diri. Tertekan lalu terpaksa beroposisi dengan melawan: mempertahankan diri dan harga atas diri sendiri. Mewakilkan diri atas kaumnya demi meraih kemulian dari tradisi kaum yang punya daya juang tinggi serta etos individu yang berani.
Orang-orang Sulèt sering tak biasa menyimpan laku dan watak Sulèt –nya. Seperti durian matang, hilang kulit menebar bau. Mungkin, sejarah telah mengajarkan masyarakat Aceh atas lembaran-lembaran Sulèt yang dipraktekkan penjajah Belanda dan yang sekufu, sekutu dengannya. Maka amatlah susah memaksa ingatan untuk melupakana watak dan tabi’at Sulèt. Karena watak Sulèt lambat laun bisa menjadi benalu atau bahkan akan menjadi epidemi yang menghinggapi hingga menutupi kaum teologi yang merekatkan sisa adat dan reusam dalam kehidupannya. ***

No comments: