Dec 13, 2010

MENYOAL RPJP ACEH


Oleh : Irwan Safwadi & Muslim Hasan Birga



Beberapa waktu yang lalu, Pemerintah Aceh telah melaksanakan musrenbang jangka panjang daerah (RPJP) tahun 2005-2025. Acara seremonial tersebut dilaksanakan dalam menyahuti amanat UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), khususnya pasal 11 ayat 3. Uniknya, acara yang diikuti berbagai pemangku kepentingan dari kabupaten/kota tersebut berlansung pasca enam tahun lamanya disahkannya UU SPPN. Atau, lebih kurang 3 (tiga) tahun pasca lahirnya UU No.17/2007 tentang RPJP Nasional Tahun 2005-2025. Itu artinya, Aceh baru sekarang merespon amanat UU SPPN dan UU RPJP Nasional untuk menyiapkan RPJP. Lalu, bagaimana korelasinya dengan dokumen rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) Aceh Tahun 2007-2012 yang lebih dulu disahkan? Lebih lanjut, mengapa pula rancangan RPJP Aceh terhitung tahun 2005-2025?. Tentunya, pertanyaan tersebut menarik untuk dicermati.

Korelasi RPJP dan RPJM
UU SPPN mengamanatkan daerah agar menyusun beberapa dokumen perencanaan penting, mencakup RPJP, RPJM dan rencana kerja pemerintah daerah (RKPD). RPJP merupakan dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun. RPJM adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun, dan RKPD diartikan dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun. Ketiga dokumen tersebut wajib dimiliki setiap daerah, termasuk Pemerintah Aceh. Kecuali memenuhi amanat konstitusi, ketiga dokumen tersebut saling bersinergis dan berhubungan erat. RPJM turunan dari RPJP, dan RKPD penjabaran dari RPJM.
Saat ini Pemerintah Aceh hanya memiliki dokumen RPJM dan RKPD sebagai landasan implimentasi pembangunan. Sementara RPJP Aceh baru sekarang disiapkan dan dibahas. Jika dicermati, kedudukan RPJP dalam tata perencanaan pembangunan daerah sangatlah penting. RPJP memuat visi, misi, dan arah pembangunan jangka panjang atau berwawasan jauh ke depan serta Visioner. Cita-cita, keinginan, dan harapan yang ingin diraih kurun waktu 20 tahun ke depan, tertuang dalam RPJP. Ringkasnya, mau dibawa kemana arah pembangunan Aceh ke depan, termaktub dalam RPJP. Begitu pentingnya RPJP, dalam UU SPPN pasal 5 ayat 2, dijelaskan bahwa RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, dst. Tidak hanya itu, pada pasal 15 ayat 4, ditegaskan pula bahwa rancangan RPJM daerah berpedoman pada RPJP daerah.
Jadi, sungguh ironis Aceh belum memiliki dokumen RPJP, sementara RPJM Aceh Tahun 2007-2012 sudah disahkan. Bahkan, kurang lebih 2 (dua) tahun lagi RPJM Aceh sudah kadaluarsa atau expired. Dengan demikian, wajar saja ada kekhawatiran “penumpang gelap” (istilah WAGUB) dalam pembahasan anggaran pembangunan Aceh.
Singkatnya, Pemerintah Aceh disinyalir masih kurang peduli pentingnya konsistensi antardokumen perencanaan. Enam tahun lamanya (pasca lahirnya UU SPPN), bukanlah waktu yang singkat untuk mengabaikan penyiapan RPJP Aceh. Memang diakui, dalam UU SPPN pasal 34 ayat 2 dibolehkan mengesampingkan RPJP Daerah (jika belum ditetapkan) sebagai pedoman penyusunan RPJM Daerah. Tapi, bukahlah berarti aturan tersebut dijadikan start poin atau key information untuk menunda menyiapkan RPJP Aceh. Bukankah lebih afdhal mengikuti tahapan perencanaan yang diamanatkan UU SPPN.
Lebih tragis lagi, Pemerintah Kabupaten/kota di Aceh yang lebih dulu menyiapkan RPJP-nya, terpaksa pula harus disesuaikan kembali, sekiranya RPJP Aceh kelak disahkan. Penyesuaian tersebut berkenaan dengan substansi yang termaktub dalam RPJP Aceh. Inilah cost yang harus dibayar mahal akibat mengabaikan UU SPPN tersebut. Tamsilannya, Orangtua berbuat salah anak terkena imbasnya.

Perencanaan Mundur
Sesuai jangka waktu perencanaannya, rancangan RPJP Aceh untuk periode 20 (dua puluh) tahun ke depan, terhitung 2005-2025. Sepintas terlihat ada keanehan pencantuman tahun pelaksanaan perencanaan, karena diawali tahun 2005. Bukahkah sepatutnya tahun pelaksanaan RPJP Aceh terhitung 2010-2030. Jika merujuk RPJP Nasional, Pemerintah Pusat mengabaikan 2 tahun melaksanakan pembangunan tanpa dokumen tersebut. Sementara Aceh, lebih kurang enam tahun pasca lahirnya UU SPPN, atau, tiga tahun pasca disahkannya UU RPJP Nasional, program/kegiatan pembangunan Aceh diimplimentasikan dengan mengesampingkan RPJP.
Memang diakui, RPJP daerah harus mengacu pada RPJP Nasional, terutama substansinya. Hal tersebut dimaknai agar adanya sinergi dan keterkaitan perencanaan pembangunan di daerah sesuai platfom RPJP Nasional. Selain itu, goal penting yang termaktub dalam RPJP Nasional harus pula diperjuangkan Daerah untuk dicapai. Namun, tidak semestinya harus sama tahun pelaksanaannya, yakni 2005-2025. Setiap daerah dapat dipastikan berbeda waktu dalam menyiapkan dan menyusun RPJP.
Tak dipungkiri, UU RPJP Nasional bersifat kaku dan daerah tidak diberi kebebasan jika terjadi perbedaan tahun pelaksanaan RPJP Daerah. Dalam penjelasan Pasal 8 ayat 2 UU RPJP Nasional, tertera bahwa RPJP Daerah harus mengacu pada RPJP Nasional, maka RPJP Daerah baik substansi dan jangka waktunya perlu disesuaikan dengan RPJP Nasional. Karena aturan pasal tersebut, disinyalir dalam rancangan RPJP Aceh pencantuman jangka waktunya sama dengan RPJP Nasional. Jika ini dibenarkan, kelak terbentuknya daerah baru (kabupaten/kota) secara definitif, apakah juga berlaku sama (harus tahun 2005-2025)? Merujuk pada jangka waktu tersebut, goal penting yang ingin dicapai lima tahun pertama dipastikan sudah berakhir, disaat RPJP Aceh belum disahkan. Dengan demikian, ditaksir dokumen RPJP Aceh yang dihasilkan nantinya hanya menjadi pajangan dan tidak mencerminkan impian di masa depan.
UU SPPN yang menjadi induk tata perencanaan pembangunan Nasional dan daerah sedikit berbeda. UU SPPN tidak menyebutkan secara implisit tentang jangka waktu RPJP Nasional (tahun 2005-2025) harus sama dengan RPJP Daerah. Itu artinya, UU SPPN bersifat tidak kaku dalam pencantuman jangka waktu. Yang penting, adalah RPJP tersebut untuk periode dua puluh tahun.
Lain halnya dengan RPJM Daerah. Apabila RPJP Daerah telah disahkan, maka substansi RPJM daerah perlu disesuaikan dengan RPJP Daerah. Sebaliknya, kurun waktu RPJM Daerah tidak diharuskan disesuaikan dengan RPJP Daerah. Hal ini dikarenakan waktu pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang berbeda-beda tiap daerah (Penjelasan Pasal 8 ayat 3 UU RPJP Nasional). Jadi, sekiranya RPJP Aceh Tahun 2005-2025 ditaksir disahkan tahun 2011, maka RPJM Aceh Tahun 2007-2012 substansinya harus disesuaikan, namun tanpa harus menyesuaikan kurun waktunya.
Tentu, kita sangat sepakat bahwa perencanaan berwawasan jauh ke depan sangat penting dalam pembangunan. Paling tidak, RPJP Aceh yang dihasilkan nantinya diharapkan mampu merespon dinamika yang berkembang dalam konteks pembangunan nasional, regional dan Internasional. Dan, yang lebih penting adalah RPJP Aceh sejalan dengan cita-cita dan aspirasi masyarakat Aceh di masa depan serta mampu mewujudkan masyarakat Aceh yang makmur, sejahtera, dan bermartabat. Semoga.

Banda Aceh, 22 Nopember 2010

Irwan Safwadi
Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Syiah Kuala

Muslim Hasan Birga
Alumni Pascasarjana Magister Ilmu Akuntansi Universitas Syiah Kuala/Fasilitator IMPACT